Syair Cinta: PERI UTARA DIBADAN CERITA.
Peri Utara I. Jujur, hingga kini tak kutahu apakah kata sederhanaku selama ini telah mengenai hatimu? Apakah caraku selama ini telah benar perlakukan hadirmu? Apakah kau tahu peri itu adalah kamu!? Entahlah....
Ketika setiap sepasang mata yang lemah ini menatap parasmu yang selalu diam kaku namun penuh keindahan serta kepolosan sebuah kecantikan warisan sang hawa. Senyuman yang manis itu. Tatapan mata yang cemerlang itu. Mahkota yang jatuh terurai indah itu. Dari segenap baikmu itu. Apakah engkau tahu, periku? Aku seakan selalu dibawanya tuk ditempatkan disuatu masa. Namun bukan masa lalu. Bukan masa kini. Atau bukan pula masa depan itu sekalipun.
Namun masa itu tampak begitu asing bagiku. Dimana rasa manisnya begitu nyata terasa melebihi semua manis sebuah masa lalu. Dimana semu gambaran adanya nampak berbayang terlukis mengalahkan abstraknya sebuah masa depan. Dan rumitnya segala kepastiaan kebenaran hadirnya ada bercokol lebih lama ketimbang rumitnya cerita hari masa kini. Dan masa itu adalah sebuah masa indah pahatan tangan-tangan sang angan. Yang berangkat dari satu inspirasi tentang hasrat hati yang selalu inginkan kehadiranmu tuk bisa berada selalu disisiku. Yang terlahir dari segenap sel-sel perasaan hati yang tiba berpadu menjadi sebuah darah bagi sebuah hasrat hidup ini.
Laksana malam. Teruntuk ia sang bumi tercinta. Sinar sang bintang dan rembulan kan selalu berpijar tulus meski dari kejauhan. Meski tak urung sang awan menyekatinya. Dan meskipun terlalu ngilu tuk dirasai ketika adanya mesti kalah dari sang lelap tidur, namun sebesar rasa ketulusan yang dimilikinya tersebut, meski disepanjang cerita ia akan terasa atau terlihat tampak hanya bisa terdiam membisu acuh tak acuh, namun ia akan selalu benar ada untuk menjaga sesosok bumi yang tercintainya tersebut. Dan seperti itu jua lah hati ini coba berusaha menetetapkan maknanya untukmu, periku!
Kini kumohonkan padamu. Mengertilah apa yang telah ataupun akan kulakuan kelak nanti didalam dunia ini! Semua yang tercipta dariku yang ada disini, itu semata-mata dari, untuk, dan karnamu! Dan bila kini kau tiba tersadar akan hal ini, katakanlah padaku bahwa kau telah terbangun! Namun bukan dihadapan mereka, dia, ataupun pertemuan kita sendiri! Namun katakanlah ketika dirimu berada diantara pertemuan hati kita dan pada ia sang malam! Karna yang yang tengah berdiri disini bukanlah jiwa siang, jiwa malam, ataupun jiwa penuhku. Namun satu keutuhan hatiku lah yang tengah berbicara padamu! Dan ia sang malam lah bundaku yang telah mengasuhku dan mendidik cara pikir hatiku tentang segala hal mengenai sesosok bagaimana sang bunda rasa itu.
Peri Utara II. Dalam cengkraman jemari malam tua,
Mudanya malam telah melumpuhkanku dengan kuasa pintanya memerintah sang lelap tidur tuk masuk mencumbui segenap dunia bawah sadarku. Tiada warna, hanya gulita, begitulah ia dengan serta-mertanya mengisi alam pandangan tidurku tersebut.
Namun kini aku telah kembali sempurna menjadi manusia sadar dengan seutuhnya. Masih sang gulita yang kudapati disini. Masih sang kesunyian yang benar mengisi pendengaranku. Masih sang kesendirian yang setia mencekik keadaanku. Dan masih tetap segala sesuatu tentangmu yang selama ini tengah kumiliki lah yang mendominasi segenap ruang pikir hati serta kepala ini. Engkau Peri Utaraku.
Dalam prosesi kelahiran sang cinta. Terlalu prematur kah bila kini rasa manis ini kutempatkan sederajat dengan kata sebuah cinta? Teramat masih muda kah bila rasa manis ini kubebani dengan sebuah makna ketulusan? Jawablah, malam! Jawablah dengan lantangmu itu! Sebagaimana kau bertanya padaku tentang satu tanyamu, tentang kesendirianku, yang selalu kau berikan padaku dengan suara gagahmu ditiap-tiap sela lamunan dan renunganku. Jawablah padaku agar ia Periku tahu! Katakanlah pada kami!
Dan padamu engkau periku disana, dengarlah ucap pena tak bertintaku ini! Jangan hiraukan nama arah yang telah kusanding di belakang namamu! Apakah seseorang akan tampak waras atau setidaknya tahu apa nama arah yang sedang ada dihadapannya ketika sebuah rasa manis yang oleh mereka para pecinta cinta itu biasa terkatakan “cinta” tiba saja tandang menetap hinggapi hatinya? Itulah yang terjadi padaku kemarin, kini, ataupun tuk diwaktu terdepan nanti. Aku teramat buta tuk ketahui satu kebenaran tentang dimana kau berdiri ataupun berdiriku sendiri ini. Aku buta karna yang sesungguhnya telah membutakanku adalah dirimu. Parasmu berdiri dan berbayang lalu menyekati selalu dihadapan tatapan nyata duniaku. Dan aku tak punya suara tuk tanyakan kepada mereka kebenaran dimana dirimu. Aku bisu karna sesungguhnya jauh dikelahiranku, mulutku telah dulu terkunci masa lalu tuk berkata bila menyangkut segala hal tentang yang mengenai hati dan rasa-rasanya sekaligus.
Dan kini, cepat bangunkanlah sadarmu itu, periku! Mantapkanlah hatimu itu! Bahwasanya kau lah yang selama ini dibicarakan kata-kata hatiku. Bukan mereka para kekasih tertinggal masa kiniku. Bukan ia sang penghias masa laluku. Ataupun bukan pula dia yang kini mungkin tengah berdiri didalam terka pikir kepalamu. Sejatinya, kaulah periku peri utara itu. Kau yang terdepan di jantung hati jiwaku ini dalam dunia disini.
Peri Utara III. Dalam kedamaian peluk pejaman malam,
Aku ingin tahu engkau Peri Utaraku tahu. Aku kembali terbangun dari mati suriku adalah karnamu. Semua kata yang sempat ataupun tengah tercipta ini adalah karnamu. Semangat hidup jiwa penuhku kembali naik pun itu karnamu. Hati yang sempat serasa lesap entah kemana ini pun teryakinkan kembali ke pangkuan awalnya, dan itupun sepenuhnya karna ulah manismu. Dan bila kini kau pergi dariku, maka satu sisi jiwaku ini pun kan tiba saatnya kembali mati suri di bawah tanah pijakan jiwa siang. Dan itu semua semata-mata karna hakekatnya maknamu bagiku adalah kau tak ubahnya laksana sang udara bagiku. Kau adalah sebentuk hal terpenting yang telah membangunkanku, dan kau pula lah yang dapat memati-surikanku. Kau adalah sebidang tanah bumi bagiku. Dari kesedianmu yang telah kau beri padaku, kau membuat jiwaku begitu yakin tuk berdiri disini. Namun bila satu hal hitam yang tengah kutakuti kini mesti terjadi disana kelak, maka dari abaian bermaknakan usiran darimu untukku, kau juga lah yang kan menjadi tanah makam bagi seluruh hal tentang satu sisi jiwa ini.
Dan ketika aku harus lalui latar hariku seperti saat-saat selayaknya kali ini. Terutama ketika tiap kali kupandangi wajah serta senyummu yang ayu itu berdiri di hadapanku dalam dunia kaca berkamar berbatas namun kaya bercahaya. Disini. Di tengah-tengah kedamain sang malam. Di dalam kesunyian sang gulita. Di timbunan dinginnya sang kesendirian. Di sudut ramainya kerlingan sang bintang-gemintang. Di naungan teduhnya sebentuk senyuman berdiri sang rembulan. Yang benar kurasai kuat di prasaku ini. Hanya ada rasa ngilu yang mengitari rasa manis ini. Hanya ada bayang kehadirannya ia sebelumku yang selalu tak henti memecuti segenap penghuni kepala dan hati ini tuk berpikir ulang jauh kedalam diri sendiri siapa yang tengah dengan beraninya tanamkan benih rasa manis ini padamu. Hingga besarnya rindu yang ada selalu saja tertawan semunya sang keraguan. Hingga jiwa ini tak lagi mengerti, pikir ini harus bagaimana lagi tuk hadapi hati yang selalu tak henti meronta meratap mengadu selayaknya saat ini.
Rasa manis disini akan selalu terima apa adanya engkau yang terkagumi hati. Seberapa pun benarnya kerendahan ataupun ketinggian makna adamu dihadapan mereka. Namun kini apakah hati ini harus tetap menerimamu apa adanya? Ketika ku teramat tahu di hidupmu ada ia kekasihmu dan ia sebelumku? Ketika kutahu mereka teramat lebih ketimbang aku?
Tidak, Periku! Takkan pernah terjadi cerita itu padaku! Takkan pernah makna rasa manis disini kubiar liar merusak makna rasa manisnya disana. Karna sesungguhnya itulah aku apa adanya. Aku laksana pecinta lukisan yang tiba waktunya dapati sebuah lukisan terpatri di dinding didalam sebuah rumah orang asing. Ia sebelumku adalah seseorang yang telah mengajakku masuk ke rumah itu. Dan kekasihmu itu adalah orang asing si tuan pemilik rumah tersebut. Tak akan ada satu hal pun yang akan kulakukan diwaktu itu tuk coba meluapkan semua rasa kecintaan, kekaguman, dan kesukaanku terhadap lukisan tersebut selain hanya terdiam memandanginya. Menggumamkan kata-kata kekaguman hanya terucap sebatas dalam hati. Semua itu kulakukan untuk menghormati ia si tuan rumah. Dan untuk menghargai ia pengajakku. Terutama teruntuk ia sang lukisan yang kusenangi.
Peri Utara IV Dibawah lembayung senja,
Dalam perjalanan langkah-langkah hati ini. Dalam jalan cerita mengenalimu satu peri yang telah membangunkan satu sisi lain jiwa ini. Melayar dalam cerita ini terasa begitu berat terasakan olehku. Dimana awan kebimbangan selalu memberkati hari-hariku. Badai-badai kerinduan tak urung tuk hadir menerpa layar setia penantianku secara bergantian.
Mereka yang tak kenali sisi lainku seakan hadir bagai sayap-sayap penghuni dunia atas laut itu. Yang selalu begitu senangnya bersenandung lirik bekelakarnya di belakangku. Namun biarkanlah mereka tetap tersenyum serta berkicau seperti itu, Periku. Karna darinya bahtera kasih ini dapat tetap melaju pacu di awal tuju arahnya.
Ombak-ombak keraguan tak henti beriak membayangiku disetiap jalan pengarungan. Dan masa lalu itu...bagai karang-karang dibelakang itu. Ia akan tetap keras membatu keras disitu. Ia tak mungkin hampiriku. Ia akan tetap menjadi latar penghias pandangan dunia belakangku. Maka dari itu, tenang lah engkau periku bagai telaga tujuh warna disana itu. Pepohonan setiaku kan mengitari hidupmu. Nuansa keasrian alam sang rasa manis ini kan kuusahakan nyamankan jiwa serta hatimu bila saatnya nanti benar engkau tulus berada disisi jiwaku.
Dan di dirimu kini adakah sedikit tentang aku yang tengah memikirkanmu tuk terpikirkan oleh hatimu?