Peri Utara V Diantara teduhnya muda hari,
Tandang hadir sang fajar tak jua terlihat pandangan kali ini. Sekalinya ia berganti sang mentari, ia pun berdiri bagai sang fajar di atas sekawanan air mata rerumputan yang tengah berkelingan manja. Keteduhan cakrawala pandangan ini hampir saja membuat langit kota ini menangis. Namun entahlah kenapa sejauh ini ia masih manis bertahan dalam kemendungannya tersebut.
Yang kurasai kini di bantaran hati ini. Terasa seakan ada sebuah rasa yang amat asing tengah mengeruhkan kerjernihan dunia palung hati ini. Semakin kutatap dunia itu, semakin hilang pula lah kejernihan pikir hatiku itu dari setiap sudut ruang pandangan ini. Alhasil, keruh sudahlah seluruh samudra hatiku itu. Dan termenunglah aku tuk sejenak diam terbisu dalam keadaan memeluk kedua lututku sendiri. Menunggu hingga sesuatu pengeruh itu muncul dari dalam sana. Atau setidaknya hingga telaga itu kembali jernih.
Tahukah engkau Periku, sesuatu pengeruh dunia palung hatiku itu apa? Benar...rasa gundah lah yang telah merusak kejernihan palung hatiku itu. Ia muncul kepermukaan bagai seekor hewan melata yang bersisik. Ia menghampiriku dengan tarian tubuhnya yang anggun. Dan mematikanku dengan desis ucapannya yang berbisa.
Dan tahukah engkau periku, apa yang telah diutarakannya padaku? Dengan suara desisnya yang begitu amat gila tuk didalami sang pendengaran, ia berkata, “perhatikan aku! Perhatikan kehadiranku! Perhatikan kenapa aku bisa terlahir disini!” Bersama itu aku tersadar. Bersama itu sang gundah itu semakin tumbuh membesar dan serasa memenuhi seluruh ruang hatiku. Dan bersama itu pula lah satu hal yang pernah kulakukan kemarin kembali terlintas didepan mataku. Dan sesungguhnya dari sanalah awal mula kenapa sang gundah bisa sempat menguasaiku.
Hari kemarin aku sempat memerintahkan satu buah karya tulisku tuk datang kepadamu. Dan kupastikan lewat jalan modern yang telah kusarankan padanya tuk ditempuhnya, ia pun telah langsung sampai ke alamatmu didunia maya itu. Dan gundah ini ada tuk sebentuk kabar darimu. Sebuah kabar yang kan mengauliakan kata sukamu ataukah kata tidak sukamu terhadap apa yang telah kau dapati tentangnya.
Dan jangan tanyakan seberapa banyakkah gundah ini telah beranak-binak dalam diri ini. Karna yang terasai kini disini, kehadirannya telah menjadi seperti sang awan yang tengah berdiri dibawah matahari hari ini. Yang berdiri diatas dudukku kini. Dimana kini sang awan tengah deras beranak-binak. Anak-anaknya berjatuhan dengan sedemikian gencarnya. Dan hidupnya ada tuk melekati, membasahi, serta sekaligus membuat dunia permukaan bumi ini mengigil kedinginan.
Hanya kabar darimu lah yang dapat menghangatinya. Tak perduli kabar itu manis ataupun pahit. Tak perduli kan indah ataukah buruk sekalipun.
Peri Utara VI Dipenguasaan sang matahari,
Akankah ia periku merasakan apa yang jiwa ini kini rasakan? Memandang apa yang kini terpandang. Mendengar apa yang kini terdengar. Menghirup apa yang kini terhirup. Memimpikan apa yang kini termimpikan.
Matahari memaksaku tuk terus kecupi rasa sinarnya yang penuh keresahan. Biasan terangnya membuat sepasang mata ini harus memandang kehampaan. Kebisuannya membiarkan segenap pendengaranku terlempar jauh kedalam kubangan sunyi. Warna cahaya tawarnya menawari napasku tuk menghirup kerinduan kepada ia periku yang sedang disuguhinya kini. Kuasanya terhadap dewasanya hari ini telah melahirkan sebuah mimpi yang tinggi tuk ditempatkannya didalam benak kepala serta ruang hasrat hatiku. Satu mimpi tentang suatu masa yang berisikan sebuah kilasan bayang-bayang dimana tiba waktunya ia sang periku bisa sudi hadir disisiku.
Andai ia tahu...disetiap hari-hariku setelah aku mengenalnya. Seperti inilah yang selalu kulakukan tuk menjaga rasa manis ini yang tercipta karna kehadirannya tersebut. Takkan terhentikan suatu apa pun jua itu ketika tangan ini telah tiba temui waktunya tuk terus melukisnya lewat kata-kataku diatas kertas dalam layar berkaca kaya bercahaya dan dengan sebuah pena tak bertinta dan dengan segenap perasaan manis ini sepenuhnya. Dan tampilan diam wajahnya yang mematung namun bergurat kemayu itu, serta sepasang bibir indahnya yang membisu namun kaya senyuman itu, tetap setia dihadapanku. Dan senandung para musisi ini mengalun begitu cantik bila sekedar tuk mengauliakan prasaan hati dan tuk selalu menyertai tarian tangan ini.
Andai ia tahu rasa manis ini...kenapa kini tak ia tanyakan langsung padaku bila ia memang ragu peri itu dirinya? Atau setidaknya lewat kata basa-basinya yang selama ini ia miliki! Bukankah kita itu manusia yang sama?
Seluruh Syair oleh ; Syarif hermawan (JMSH) | Penghuni tetap + @dmin-author | No tlp : * | email : arifjmsh Yahoo! | Address/website : http://jmsh.superindonesia.com |Profile Penulis.